Menyiapkan Anak Menuju Kedewasaan


-Diambil dari bacaan media umat,Edisi 7 December 2011-

Anak-anak sekarang cepat besar. Ya, usia baligh makin maju dibanding zaman orang tuanya. Dulu, anak-anak mulai baligh, paling cepat saat duduk di bangku SMP. Itupun kelas 2 atau 3, sekitar usia 14 atau 15 tahun. Bahkan, ada yang tamat SMA baru baligh. Tapi kini, anak-anak SD, usia 10 tahun pun tak sedikit yang sudah mengalami mimpi basah bagi laki-laki atau menstruasi bagi perempuan. Padahal, secara mental dan pemikiran, mereka belum siap “dewasa”. Ini terlihat dari pola pikir dan perilakunya yang masih “kanak-kanak”. Padahal, baligh adalah batas antara anak-anak dan dewasa.

Tak ada istilah anak baru gede (ABG) atau remaja, yang seolah mengamini kekanak-kanakan mereka. Ini tentu memprihatinkan, mengingat besarnya konsekuensi bagi anak-anak yang sudah baligh, di mana mereka berarti sudah harus siap menjadi manusia seutuhnya. Lantas bagaimana orang tua menyiapkan anak-anaknya menuju gerbang kedewasaan? Berikut ini ada beberapa hal yang harus dipahami:

1. Memahamkan Konsep Baligh



Tanda-tanda kedewasaan anak berupa perubahan fisik akan datang dengan sendirinya, sekalipun tanpa dipersiapkan. Artinya, kita tidak  bisa mematok anak saya sebaiknya baligh usia 15 tahun saja atau nanti kalau sudah SMA saja. Semuanya alami, datang begitu saja tanpa diundang. Yang bisa kita lakukan hanyalah memberi informasi secara terbuka dan jelas kepada anak, mengenai konsep baligh dan perubahan fisik anak.

2. Menyiapkan Aqliyah

Beda dengan perubahan fisik, aqliyah atau pola pikir anak serta mentalnya, tidak bisa dibiarkan tumbuh begitu saja, melainkan harus “diisi” untuk mempersiapkan kedewasaan. Ya, kerap terjadi pertumbuhan fisik dan akal anak tidak seimbang, di mana fisik sudah bligh, tapi pemikiran masih nol. Idealnya, akil-baligh itu satu paket. Ketika perangkat fisik pada diri anak sudah matang, akal dan mentalnya pun harus menjadi dewasa. Maksudnya, jika organ kelamin primer dan sekunder sudah matang, cara berpikir dan sikap mental anak juga sudah menunjukkan kedewasaan. Caranya, dengan mengajak anak berpikir dan berdialog tentang konsep-konsep kehidupan, khususnya sebagai Muslim. Orang tua harus selalu mengajak anak berpikir, mengajarkan nilai-nilai Islam dan memahamkan berbagai syariat Islam, sehingga begitu baligh sudah siap memikulnya.

3. Tanamkan Tanggung Jawab

Setiap anak punya dorongan untuk mandiri dan bertanggung jawab. Jadi, jangan ambil tanggung jawab mereka. Biarkan mereka menyelesaikan dengan kepercayaan yang diberikan dengan sepenuh hati. Jika mereka berhasil, memang itu yang diharapkan. Jika tidak, jangan serta merta dihukum karena konsekuensi negatif atas kegagalannya saja sudah cukup berat. Sudah terjatuh, tertimpa tangga pula. Yang penting, ajak anak berkomunikasi atau berdialog agar merasa dianggap benar-benar sudah dewasa.

4. Ajarkan Kemandirian

Anak yang menuju baligh, harus sudah disiapkan untuk mandiri. Tahapan-tahapan yang bisa kita lakukan adalah dengan meneladani jalan parenting-nya Ali bin Abi Thalib. Pada tujuh tahun pertama, jadikan anak sebagai amir atau putra mahkota. Ya, usia golden age ini, anak-anak masih sangat tergantung pada orang tua sehingga  harus selalu dilayani bak pangeran. Tujuh tahun kedua, ajarkan dan jadikan mereka sebagai asir, pelayan, atau tawanan. Maksudnya, mereka harus mulai bisa melayani diri sendiri, bahkan membantu orang lain. Tujuh tahun ketiga, perlakukan anak sebagai wazir atau orang kepercayaan. Tahapan ini jika dijalankan dengan baik, insya Allah akan menghantarkan anak menjadi pribadi yang utuh dan matang.

5. Cukup Pengawasan

Pengawasan diam-diam terhadap anak, merupakan metode ampuh. Ciptakanlah ruang anak untuk 'bebas', tetapi tetap dalam pantauan orang tua. Sehingga, anak merasa memiliki ruang untuk keegoannya sebagai sosok yang mulai tumbuh dewasa, tanpa merasa dikekang. Sebaliknya, orang tua tetap bisa mengawasi perkembangan anaknya, baik fisik maupun mentalnya.[]kholda

Posting Lebih Baru Posting Lama

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.