Haruskan Menikah Tanpa Restu ?


Diambil dari bacaan Media dakwah,Edisi 03 November 2011

Bagi seorang ibu, sungguh trenyuh jika punya anak gadis menikah tanpa restunya. Seperti yang belakangan banyak dikabarkan, anak tiri Menteri Kelautan Fadel Muhammad, Tania yang menikah dengan aktor Tommy Kurniawan. Meski konon direstui ayah kandungnya, sang bunda mempermasalahkannya. Apapun alasannya, pernikahan tanpa restu bunda sungguh tercela.

Kejadian seperti ini, kebanyakan dimulai dari aktivitas pacaran, di mana anak laki-laki dan perempuan bebas bergaul berdua-duaan secara intim. Akibatnya, keduanya sulit untuk dipisahkan.

Entahlah, apakah hubungan dilandasi cinta atau nafsu karena bedanya mungkin tipis. Dan begitulah dampak buruk pacaran, di mana anak menjadi “liar” dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis. Anak merasa bisa menemukan sendiri pasangan hidupnya yang ideal,  tanpa melibatkan orang tua sejak awal.

Memang, menyalahkan anak 100 persen juga tidak pas. Orang tua mungkin juga punya andil hingga anak terjerumus dalam pencarian jodoh yang ternyata tidak sehati dengan orang tua. Bukankah orang tua masa kini terlalu membebaskan anak bergaul, termasuk dengan lawan jenis? Selain itu, orang tua sejak dini juga kurang menanamkan agama, termasuk mempersiapkan anak gadisnya menuju pernikahan, menentukan kriteria pasangan yang syar'i, berikut tatacaranya yang islami.

Karena itu, hendaknya kedua belah pihak, baik anak maupun orang tua introspeksi. Jangan egois. Sedini mungkin, jalin hubungan yang dekat antara anak dan orang tua. Orang tua yang tentunya sudah berpengalaman dalam berumah tangga, sangat ideal dijadikan panutan dan konsultan dalam memilih jodoh. Mungkin, orang tua kita menjalani rumah tangga era kuno, tapi bukankah dasar kehidupan rumah tangga tak berubah sepanjang masa? Dari dulu yang namanya menikah ya begitu, janji setia sehidup-semati antara laki-laki dan perempuan, lalu masing-masing menjalankan peran sesuai kodratnya dengan pembagian hak dan kewajiban yang jelas.

Ingatlah, salah satu maksud dari pernikahan dalam Islam ialah untuk mendapatkan ketentraman dan kedamaian (QS. 30:21); ketentraman antara suami istri dan juga ketentraman keluarga besar keduanya. Apalah artinya merasa tentram dengan pasangan pilihannya, tapi di sisi lain tidak tentram dengan orang tuanya, hanya disebabkan orang tua tidak setuju dengan pasangan anaknya.

Untuk itu, alangkah indahnya ketika akan memilih calon pasangan hidup, terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan keluarga besar, terutama orang tua. Sejak awal buatlah kesepakatan dengan orang tua mengenai kriteria/kualifikasi calon pasangan yang dikehendaki. Tentu saja, baik anak maupun orang tua tidak akan muncul konflik jika sama-sama menyandarkan pada Islam dalam memilih kriteria pasangan hidup, yakni yang baik agama dan akhlaknya. Nah, memang, ukuran “baik” agamanya ini perlu dipertegas. Apakah sekadar shalat sudah dianggap baik?

Selain itu, sebaiknya anak lebih banyak mengalah. Bagaimanapun, orang tua selalu menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Anak mungkin baru kenal calon suami dalam hitungan tahun, bulan, atau bahkan minggu. Tapi orang tua mendampingi anak sejak dalam kandungan hingga sepanjang hayatnya. Apakah tega merusak silaturahmi dengan orang tua demi mempertahankan calon pasangan yang relatif baru dikenal?

Boleh jadi, ketidaksetujuan orang tua justru membawa berkah bagi anak. Tentu dengan catatan, alasan orang tua tidak merestui anak dibenarkan secara syar'i. Seperti orang tua memandang ada calon lain yang dinilai lebih shalih, lebih bagus akhlaknya, lebih menjamin masa depan anaknya, dll. Yakinlah, jika jodoh tak akan lari ke mana. Kalau memang orang tua belum merestui, mungkin memang itu bukan pilihan terbaik dari Allah SWT.[] kholda

Posting Lebih Baru Posting Lama

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.